Definisi Penelitian Kualitatif

Apa penelitian Kualitatif itu?
Dalam memahami penelitian kualitatif perlu dipahami sebelumnya tentang pengertian metodologi penelitian. Pengertian Konsep dasar “penelitian kualitatif” Jerome Kirk & Mare L. Miller dalam buku: “Reliability and Validity  In  Qualitative Research”  menyatakan bhw pada mulanya penelitian kualitatif bersumber  pada “pengamatan kualitatif”  yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitative yang melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu.  Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan,  pengamat harus mengetahui apa ciri dari sesuatu yang diamati  itu.

Berdasarkan pertimbangan dangkal itu pengamat mulai mencatat dan  menghitung  dari satu, dua, tiga dan seterusnya, kemudian peneliti  menyatakan  bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap jenis penelitian yang didasarkan pada perhitungan persentase, rata-rata, Chi Kuandrat, dan perhitungan statis tik lainnya. Dengan kata lain bahwa penelitian kuantitatif  melibatkan  diri  pada  “perhitungan” atau “angka” atau “kuantitas”.
Di pihak lain “kualitas”  menunjuk pada segi “alamiah” yang dipertentangkan dgn. “kuantum” atau “jumlah”.  Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian kualitatif diartikan sebagai: “PENELITIAN YANG TIDAK MELAKUKAN PERHITUNGAN”. Ada beberapa istilah yang terkait dengan penelitian kualitatif, yaitu : inquiry, naturalistik, etnografi, intraksionis simbolik, perspektif ke dalam,  ethnometodologi,  the Chicago School, fenomenologis, studi kasus, interpretatif, ekologis, dan deskriptif. (Lihat Bogdan dan Biklen, 1982).

Pemakai istilah “inkuiri alamiah” atau “naturalistic inquiry”, kurang setuju dengan penggunaan istilah “penlitian kualitatif”  karena istilah tersebut terlalu menyederhanakan makna penelitian kualitatif itu sendiri, yang sering dipertentangkan dengan istilah “peneitian kuantitatif”.
Alasan pemakai istilah “inkuiri alamiah”  sebenarnya hanya alasan pembenaran atas istilah “inkuiri alamian” (naturalistic inguiry).
  
Definisi “Penelitian Kualitatif”
Di samping definisi “metodologi penelitian” secara umum, dikemukakan pula definisi secara khusus “metodologi penelitian kualitatif”, karena metodologi penelitian itu sangat beragam  bentuk pelaksanaanya, baik karena  perbedaan  sifat  obyeknya,  teknik  dan prosedur  kerjanya,  maupun  karena  perbedaan paham filsafat yang mendasarinya.
Misalnya :  penelitian  yang  meneliti gejala (fenomenologi / fenomenografi), berbeda dengan penelitian yang mengkaji budaya  (cultural studies, etnologi/etnografi), cintent analisis, hermeneutik, semiotik, dan lain-lain. 
Berikut  ini  dikemukakan beberapa definisi metodologi penelitian kualitatif:
  • Taylor (1975), menyatakan bahwa “Metodologi penelitian kualitatif” seagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa  kata-kata  tertulis  atau  lisan  dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati. Menurut Taylor,  pendekatan  ini  diarahkan ada  latar  individu  secara  utuh  (holistik) dan tidak  boleh  mengisolasi individu atau organisasi  ke dalam  variabel dan menyikapinya sebagai bagian Dari suatu titalitas.
  • Jerome Kirk & Mare L. Miller (1086), menyatakan bahwa  : “Penelitian kualitatif adalah tradisi tortentu dalam ilmu sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan kepada manusia dalam kawasannya sendiri  dan  berhubungan dengan orang2 tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya”  
Selanjunya pengkajian definisi oleh pengikut “inkuiri alamiah”  dilakukan oleh Willem dan Rauch (1969), yang diulas oleh Cuba, dan selanjutnya diterjemahkan oleh Sutan Santi Arbi, menyimpulkan hal-hal berikut:
  • Inkuiri naturalistik selalu meupakan suatu “taraf”. Taraf (sejauh mana tingkat pengkajian adalah naturalistik) merupakan fungsi sesuatu yang dilakukan oleh peneliti.
  • Hal yang dilakukan oleh peneliti berkaitan dengan stimulus variabel2 bebas atau kondisi anteseden yang merupakan dimensi yang sangat penting.
  • Dimensi  penting lainnya yaitu apa yang dilakukan oleh peneliti dalam membatasi rentang respon dan keluaran subyek.
Inkuiri naturalistik tidak mewajibkan peneliti  untuk  terlebih  dahulu membentuk konsepsi-konsepsi  atau  teori-teori mengenai lapangan penelitiannya.  Bahkan sebaliknya  ia dapat mendekati  lapangan  perhatiannya  dengan pikiran yang murni dan memperkenankan interpretasi2 nya muncul dan dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa nyata dan bukan sebaliknya. Walaupun  demikian, suatu pendekatan yang secara konseptual tidak tepat dan merupakan sesuatu yang naif.

Istilah “naturalistik” adalah istilah yang memodifikasi penelitian atau metode, tetapi tidak memodifikasi gejala-gjala. Hal ini berarti metodelah yang harus disesuaikn pada gejala sedang gejala tidak boleh diintervensi.

Untuk mengkaji lebih lanjut istilah “penelitian kualitatif”,  berikut ini dikemukakan beberapa definisi :
  • Taylor (1975:5) menyatakan bahwa : “Metodologi kualitatif sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati”. Menurut  beliau  bahwa  pendekatan  ini diarahkan  pada  latar individu secara utuh (holistik) dan tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variabel dan menyikapinya sebagai bagian dari suatu totalitas (keseluruhan).          
  • Jerome Kirk & Mare L. Miller, dalam buku  “Validity and Realiability in Qualitative Research” (1986) menyatakan bahwa “Penelitian kualitatif  adalah tradisi tertentu dalam ilmu sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan kepada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya  dan dalam peristilahannya”.

Selanjutnya pengkajian definisi oleh pengikut “inkuiri alamiah” telah dilakukan  oleh Willem dan Rauch (1969),  yang  kemudian diulas oleh Cuba, dan  selanjutnya diterjemahakan oleh  Sutan Santi Arbi,  menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
  • Inkuiri naturalistik selalu adalah  suatu taraf.
  • Taraf  (sejauh mana tingkat pengkajian adalah naturalistik),  merupakan fungsi sesuatu  yang  dilakukan  oleh  peneliti,
  • Hal yang dilakukan oleh peneliti berkaitan dengan stimulus variabel-variabel  bebas atau kondisi anteseden yang merupakan dimensi yang sangat penting.
  • Dimensi penting lainnya yaitu apa yang dilakukan oleh peneliti dalam membatasi rentang respon dari keluaran subyek.
Ikuiri naturalistik tidak mewajibkan peneliti untuk terlebih dahulu membentuk konsepsi-konsepsi atau teori-teori mengenai lapangan perhatiannya.  Bahkan  sebaliknya ia dapat mendekati lapangan perhatiannya dengan  pikiran murni dan memperkenankan interpretasi-interpretasinya  muncul dari  dan  dipengaruhiu  oleh peristiwa-peristiwa nyata dan bukan sebaliknya. Walaupun demikian, suatu pendekatan  yang secara konseptual, tidaklah tepat dan adalah sesuatu yang naif.

Istilah naturalistik merupakan istilah yang memodifikasi penelitian  atau  metode, tetapi  tidak memodifikasi gejala-gejala. Hal ini  berarti bahwa penelitian atau  metodelah yang harus disesuaikan pada gejala sedang gejala tidak boleh diintervensi.

Kesimpulan-kesimpulan di atas memberikan gambaran bahwa penelitian kalitatif memiliki sifat yang khas.
 

Paradigma Kuhn: Gagasan Baru untuk melahirkan Teori

Thomas Kuhn
Sebelum seorang ilmuwan mulai memaparkan “teori baru”-nya, dengan mengembangkan definisi-definisi, statemen-statemen, dan hubungan-hubungan timbal-balik di antara statemen-statemen (atau teori-teori), ia biasanya mempunyai sebuah konseptualisasi – suatu orientasi ke arah atau perspektif tentang gejala bersangkutan, dan ini membentuk basis bagi teori tertulis atau teori formal dia.  Dengan kata lain, setelah suatu gagasan baru muncul pada ilmuwan bersangkutan, ia berusaha untuk memaparkan gagasan ini kepada ilmuwan-ilmuwan lain dengan menggunakan definisi-definisi dan statemen-statemen eksplisit.  Kadangkala gagasan baru ini lebih dari sekedar suatu cara yang berbeda untuk mendeskripsikan data yang sama; ini bisa meliputi suatu “pandangan-dunia” atau perspektif yang unik yang mana ilmuwan yang menghasilkannya mungkin tidak sepenuhnya menyadari itu.

Paradigma Kuhn: Gagasan Baru untuk melahirkan Teori

Tipe gagasan baru yang paling dramatis akan diacu sebagai sebuah “paradigma Kuhn”, karena ini semula disarankan oleh T.S. Kuhn (1962).  Ini mempunyai ciri-ciri berikut:
  • Gagasan tersebut mewakili suatu konseptualisasi baru secara radikal tentang gejala-gejala bersangkutan; Gagasan tersebut menyarankan sebuah strategi riset atau prosedur metodologis yang baru untuk mengumpulkan data empiris yang mendukung paradigma bersangkutan;
  • Gagasan tersebut cenderung mengemukakan persoalan-persoalan baru untuk dipecahkan;
Penerapan paradigma baru bersangkutan sering menjelaskan gejala-gejala yang tidak bisa dijelaskan oleh paradigma-paradigma sebelumnya. Ringkasnya, sebuah paradigma Kuhn bukan hanya mencakup suatu orientasi yang unik dan belum ada pendahulunya ke arah gejala-gejala bersangkutan, suatu terobosan dramatis pada orientasi-orientasi yang lalu dan orientasi-orientasi yang ada, tetapi juga melibatkan suatu pergeseran besar dalam strategi riset (sering mencakup teknik-teknik riset baru) juga.  Kuhn mengacu paradigma-paradigmanya sebagai “revolusi-revolusi ilmiah”.

Terdapat sejumlah contoh paradigma Kuhn dari ilmu fisika dan ilmu biologi yang dipaparkan oleh Kuhn (1962).  Dua darinya akan disajikan di sini.  Sebelum Newton, jatuhnya benda-benda ke bumi dijelaskan oleh benda-benda yang mengusahakan tempat istirahat “alami”-nya, permukaan bumi.  Ketika sebuah apel dipisahkan dari pohon, ia akan mencari tempat istirahat “alami”-nya dan bergerak ke arah, atau “jatuh” ke, tanah.  Newton menyarankan suatu cara baru untuk mendeskripsikan gejala yang sama sebagai daya-tarik dua benda satu sama lain.  Ketika apel dipisahkan dari pohon, bumi tertarik ke, dan bergerak menuju, apel tersebut dan apel tersebut juga tertarik ke bumi.  Karena perbedaan dalam massa, apel berjalan lebih jauh ketimbang bumi.  Meskipun pertamanya ini mungkin tampak merupakan suatu perbedaan kecil dalam perspektif, teori baru ini melibatkan sebuah orientasi yang berbeda secara dramatis ketika diterapkan pada gerakan planet-planet dalam sistem tatasurya (di mana massa benda-benda bersangkutan lebih mirip), dan diperlukan waktu beberapa ratus tahun bagi orientasi baru ini untuk sepenuhnya diadopsi.

Sebelum Darwin, salah satu penjelasan yang dominan dari “harmoni” jelas di antara bentuk-bentuk kehidupan dan lingkungannya – mengacu ke cara di mana bentuk-bentuk kehidupan tampaknya demikian bagus beradaptasi dengan lingkungan-lingkungan fisiknya – adalah bahwa setiap benda hidup merupakan bagian dari sebuah rencana induk (dipikirkan dan dilaksanakan oleh Yang Maha Besar) yang dirancang untuk menghasilkan spesimen-spesimen “ideal” dari setiap spesies.  Darwin mengemukakan bahwa hubungan “harmonis” ini bisa dijelaskan oleh dua proses duniawi (earthly proces): variasi-variasi kecil dalam bentuk-bentuk kehidupan, secara kontinyu dihasilkan oleh proses-proses genetik alami selama reproduksi, dan kecenderungan bentuk-bentuk kehidupan tersebut untuk lebih cocok dengan lingkungannya untuk bertahan hidup atau untuk bereproduksi secara lebih sering ketimbang bentuk-bentuk kehidupan yang kurang cocok dengan lingkungan.  Jelas, konseptualisasi Darwin merupakan sebuah teorbosan dramatis terhadap pandangan-pandangan lama, suatu revolusi ilmiah yang bahkan sekarang belum diterima secara universal.

Mungkin karena masih kurang ada kesepakatan di antara para ilmuwan sosial tentang sifat dari paradigma-paradigma yang ada, atau pandangan-pandangan tentang gejala-gejala bersangkutan, agak lebih sukarlah memilih contoh-contoh terkenal dari paradigma-paradigma Kuhn di dalam ilmu-ilmu sosial.  Konsepsi Marx tentang masyarakat, strategi analisis Durkheim, orientasi Cooley-Mead tentang pengembangan dan pemeliharaan suatu konsep-diri, atau model sebuah sistem ekonomi industrial Keynes, bisa disebut sebagai paradigma-paradigma Kuhn.  Meskipun demikian, jelas bahwa sebuah konseptualisasi, teori Freud tentang kepribadian, mempunyai semua karakteristik paradigma Kuhn.  Berikut ini adalah sebuah rangkuman ringkas tentang gagasan-gagasan Freud, tentang bagaimana gagasan-gagasan tersebut memenuhi kriteria paradigma Kuhn.

Sumber: A Primer in Theory Construction by Paul Davidson Reynolds
 

Penelitian Empiris dan Tingkat Kepercayaan Pernyataan Abstrak

Jika penelitian empiris tidak pernah dapat membuktikan kebenaran pernyataan abstrak, maka bagaimana hal itu dapat mempengaruhi status pernyataan suatu teori? Sementara hasil penelitian empiris yang besifat konkret oleh tetap menjadikan pernyataan abstrak sebagai alat prediksi untuk menjelaskan kebenaran pernyataan tersebut. Reynolds memberikan contoh sebagai berikut:
"Semakin formal sikap anggota kelompok, semakin kohesif suatu kelompok"
Pernyataan ini akan disebut sebagai X pernyataan. Sebagai sebuah pernyataan abstrak, menjadi mustahil untuk membuktikan bahwa pernyataan itu benar, tapi terdapat kemungkinan untuk membuktikan bahwa pernyataan abstrak tersebut salah. Untuk membuktikannya maka dilakukan penelitian untuk pernyataan X. Penelitian ini dirancang untuk menentukan apakah pernyataan konkret, dianggap sebuah pendukungn kebenaran dari pernyataan X, yang dapat membentuk suatu deskripsi akurat tentang perilaku aktual. (Lihat contoh sebelumnya) bahwa pernyataan itu berlaku untuk sekelompok orang tertentu pada waktu tertentu, dan hal itu bisa saja benar dan bisa salah .

Untuk membuktikan hal tersebut, Jones dan Smith melakukan penelitian. Jones melakukan penelitian yang berkaitan dengan X sebagai pernyataan umum, dan hasil penelitiannya berhubungan dengan X sebagai pernyataan umum. Sementara penelitian Smith terhadap pernyataan X akan tergantung tiga faktor:
  1. Sikap Smith terhadap pernyataan X tidak diterima sebelum belajar dari hasil penelitian Jones.
  2. Hubungan antara pernyataan X dan hasil penelitian Jones.
  3. Jones menggunakan prosedur untuk mengumpulkan data-datanya
Jika Jones memiliki prosedur penelitian yang ceroboh, Smith mungkin skeptis terhadap hasil yang diperoleh Jones, sehingga Jones harus menggunakan prosedur penelitian yang benar agar Smith menerima Hasil penelitian Jones sebagai temuan yang tepat (empirical) (yaitu, hasil yang akan terjadi lagi jika prosedur yang sama diulang).

Untuk kasus yang pertama, Smith memiliki pendapat yang nyata tentang pernyataan X; Ada tiga kemungkinan hasil untuk penelitian Jones menurut Smith: baik yang mendukung pernyataan, tidak mendukung pernyataan itu, atau tidak meyakinkan. Jika hasil penelitian tidak dapat disimpulkan Jones, maka sikap Smith terhadap  pernyataan X akan mengalami perubahan. Jika hasil Jones baik mendukung atau tidak mendukung pernyataan (hasil empiris yang dilakukan atau tidak sesuai dengan pernyataan), maka hasilnya akan memiliki efek maksimum pada sikap Smith. Smith akan berubah dari posisi netral ke sikap yang lebih moderat bahwa pernyataan X berguna, tergantung pada hasil penelitian ilmiah Jones.

Sebagai perbandingan, mempertimbangkan situasi kedua, di mana Smith tahu dari study, yang konsisten dengan Statemen X. Akibatnya, Smith memiliki keyakinan yang tinggi di X pernyataan sebagai deskripsi berguna bagi suatu fenomena. Jika penelitian Jones adalah inconclusive, maka hasil itu tidak memiliki efek nyata pada sikap Smith terhadap pernyataan X, karena Smith sudah sangat yakin bahwa pernyataan itu berguna. Oleh karena itu, Smith mungkin bertanya mengapa Jones repot-repot melakukan penelitian, karena "kita sudah tahu bahwa".

Namun, jika hasil Jones tidak mendukung pernyataan X sebagai sesuatu yang berguna, karena ada lima "baik" studi yang konsisten dengan pernyataan. Jika menyajikan hasil Jones, yang tidak konsisten dengan pernyataan X tidak berguna untuk situasi Thet. Jika Smith puas bahwa prosedur Jones adalah memuaskan, maka sikapnya terhadap pernyataan X dapat dikurangi.
Berdasarkan uraian tersebut, maka Reynold menarik kesimpulan bahwa prosedur penelitian kongkret diarahkan pada (1) upaya untuk membuktikan pernyataan abstrak itu salah, (2) untuk mengklasifikasikan pernyataan abstrak sebagai suatu teori maka sikap ilmuan terhadap pernyataan abstrak sangat dipengaruhi oleh hasil penelitian empiris. Disamping itu hasil peenelitian Empiris tingkat kepercayaannya ditentukan oleh (1) hasil penelitian, (2) kualitas prosedur penelitian, dan 3) sikap ilmuwan terhadap pernyataan abstrak sebelum mengetahui temuan yang labih baru
 

Pengertian Metodologi Penelitian

Pengertian Metodologi Penelitian

Istilah (konsep dasar) “Metodologi Penelitian ” dari kata “metodologi” dan “penelitian”.
Istilah “metodologi” dari kata “metode” yang  artinya cara kerja dan “logos”  artinya ilmu atau sifat ilmiah. Jadi  Metodologi” berarti cara kerja yang yang bersifat ilmiah. Istilah “penelitian” dari kata dasar “teliti” artinya cermat atau mencermati (kata kerja atau kecermatan (kata sifat). Jadi “metodologi pnelitian” berarti “ilmu tentang cara-cara kerja yang cermat”.

Penelitian adalah langkah dan prosedur pencermatan dan penelusuran sesuatu dengan
memakai cara-cara ilmian (tidak subyektif, tidak imajiner,  tidak emosional,  dan  tidak semrawut). Istilah “kualitatif” dari kata dasar “kualitas”, atau “mutu”, memberi sifat atau karakter pada konsep “metodologi penelitian”, yang bermakna “metode kerja yang ilmiah di dalam proses pencermatan dan penelusuran sesuatu dengan berpegang pada kriteria-kriteria kualitas atau mutu (quality perspective).

Secara konotatif, konsep “metodologi penelitian kualitatif” dapat diberi makna : “aktivitas  yang  menggunakan  cara-cara kerja yang bersifat ilmiah  (obyektif, empirik, rasional, dan sistematis) di dalam pencematan dan penelusuran guna mencari dan menemukan data  yang benar dan  akurat  (informasi, keterangan dan sejenisnya)  gunamenjawab pertanyaan tortentu atau memecahkan  masalah tertentu di dalam  bidang kehidupan atau keilmuan dengan berpegangpada prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah kualitas”.

Definisi “penelitian”
Gabriel Amir Silalahi dalam buku : “Metodologi Penelitian dan Studi Kasus” menyatakan sebagai berikut :
  1. Penelitian adalah usaha mencari, mengumpulkan, dan menganalisis fakta-fakta mengenai suatu masalah atau fenomena yang telah terjadi baik sekarang maupun di masa lalu
  2. Penelitian adalah penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan pengetahuan.
  3. Riset merupakan proses yang berbasis masalah dengan obyek suatu fenomena empiris.
  4. Proses riset dilakukan dengan sistematis,terorganisasi, terkendali dan kritis.
  5. Tujuan riset adalah menyediakan informasi untuk menjawab suatu masalah yang spesifik.
  6. Riset itu bersifat ilmiah, artinya dimulai degan prosedur yang sistematis dengan pembuktian yang meyakinkan berupa fakta yang diperoleh secara obyektif.
  7. Riset merupakan proses yang berjalan terus menerus, sebab hasil suatu penelitian selalu dapat disempurnakan lagi.
  8. Riset adalah proses pendekatan dengan pembuktian ilmiah untuk mendapatkan in-
  9. formasi baru.
  10. Riset adalah suatu penyelidikan yang terorgnisasi.
  11. Riset adalah suatu inquiry, penelaahan atau penyelidikan mengenai sesuatu atau suatu atas dasar ilmu.
  12. Riset adalah kegiatan yang sistematis yang menggunakan metodologi untuk menemukan sebab dan akibat suatu masalah berdasarkan perpaduan kebenaran subyektif dan obyektif untuk pengambilan keputusan yang efektif dan efisien.
  13. Research is a systematic inquiry  aimed at providing information to solve problem.
  14. Research means searching for a theory, testing a theory, or solving problem.
  15. Research adalah operasioalisasi metode ilmiah untuk mencari kebenaran logis, sistematis, empiris, dan kritis,
 

Pernyataan Abstrak dan Pengamatan Konkret

Pernyataan Abstrak dan Pengamatan Konkret merupakan dua hal yang  perlu mendapat perhatian sebelum mengurai suatu kebenaran pada teori tertentu. DAlam melakukan testing teori sebagai upaya pembuktian kebenaran suatu teori adalah dengan memahami beberapa pernyataan yang berkaitan dengan teori yang dimaksud dengan sifat singkronisasi dari hasil pengamatan kongkret. Bagaimana mengetahui hubungan antara pernyataan Abstrak dan pengamatan Kongkret. Reynolds dalam A Primer thery Construktions merumuskan beberapa contoh sederhana berkaitan dengan hal tersebut. Misalnya pada contoh berikut:
 “Semakin Seragam sikap Anggota dalam suatu kelompok, maka kelompok tersebut semakin kohesif”.
Contoh tersebut memuat dua buah pernyataan yang masing-masing berdiri sendiri yaitu “Semakin Seragam sikap Anggota dalam suatu kelompok, dan pernyataan “kelompok tersebut semakin kohesif”. Pernyataan ini memang bersifat “spatial” dan “temporal” dan bersifat abstrak dan membutuhkan penelitian empiris untuk mebuktikan kebenarannya. Contoh lain yang dikemukakan adalah pada penelitian empiris pada universitas XYZ.
“Selama tahun 1965, pasangan yang berpacaran di Universitas XYZ yang memiliki orientasi politik yang sama, baik liberal atau baik konservatif, lebih tinggi frequenlty pertemuan dari pasangan dengan orientasi politik yang berbeda, yaitu satu konservatif dan satu liberal”.
Berdasarkan contoh tersebut maka jika dirujuk pada esensi pengujian teori yang berkaitan dengan bagaimana suatu penelitian kongkret mendukung pernyataan abstrak agar pernyataan abstrak tersebut menjadi benar. Perlu diketahui bahwa fakta-fakta yang dijelaskan oleh pernyataan konkret juga dijelaskan oleh pernyataan yang lebih abstrak, artinya bahwa setiap pernyataan abstrak didukung oleh kenyataan empiris demikian pula sebaliknya. Contoh di atas menunjukkan bahwa “Pasangan kencan sebagian kelompok, dengan orientasi politik merupakan bentuk sikap, sementara frekuensi pembentukan kelompok kencan adalah merupakan bentuk tindakan dari proses pembentukan kelompok.

Isu kedua sedikit lebih kompleks. Jika pernyataan abstrak, itu harus diterapkan di masa depan. Jika diterapkan pada situasi masa depan, ada kemungkinan kebenarannya tidak dapat dibuktikan. Oleh karena itu, tidak mungkin dapat membuktikan kebenaran pernyataan abstrak untuk semua kondisi masa depan kecuali setiap kondisi yang dimaksudkan berada dalam lingkup pernyataan. Di sisi lain, karena pernyataan abstrak berlaku untuk masa lalu dan masa kini, maka kemungkinan untuk membuktikan berlaku atau tidak berlaku pada beberapa situasi memungkinkan pernyataan abstrak dipalsukan.

Kedua hal ini perlu didiskusikan secara tepat yang berkaitan dengan strategi penelitian agar penelitian tersebut mengarah kepada pembuktian kebenaran dari suatu pernyataan, atau mencari bukti kebenaran pernyataan, sebagai tujuan dari suatu  penelitian. Yang terpenting dari persoalan ini adalah bahwa aggapan dasar peneliti jika pernyataan sekalipun abstrak tetapi tidak menjadi pasti apakah pernyataan itu benar atau salah sehingga para peneliti tidak dapat menjustifikasi suatu pernyataan benar atau salah sebelum melakukan uji untuk membuktikan kebenaran dari suatu pernyataan secara kongkret.

Berdasarkan hal tersebut maka dalam buku ini di tegaskan bahwa sesungguhnya pernyataan abstrak merupak salah satu faktor yang membangun kebenaran penelitian empirisme, bahwa pernyataan abstrak tersebut merupakan dasar untuk melakukan pembuktian melalui penelitian empirisme. Reynold menegaskan dua hal penting berkaitan dengan pernyataan abstrak dan penelitian kongkret yaitu: 

Hipotesis konkret mungkin benar atau salah, karena terkait dengan pengaturan tempat dan waktu. Jadi temuan penelitian konkret menjadi dasar keyakinan penelitia bahwa pernyataan abstrak akan berhubungan dengan bagian lainnya. Penggunaan statistik klasik, menekankan pada kepastian "benar" atau "salah", Meskipun prosedur keputusan statistik dapat diterapkan pada hipotesis yang lebih kongkret, akan tetapi hasilnya sering diterapkan secara langsung, akan tetapi tidak tepat digunakan secara langsung untuk pernyataan abstrak.

Setelah menemukan hubungan pembuktian antara pernyataan abstrak dengan pengamatan kongkret maka selanjutnya tingkat kebenaran pernyataan empirisme terhadap pembenaran pernyataan abstrak (pada postingan berikutnya).
 

Kepemimpinan Metafor PDIP

Tulisan tentang kepemimpinan Metafor akan dideskripsikan dalam konteks Kepemimpinan Metafor PDIP dalam Domain Perpolitik Nasional (Ilham Rifai Hasan, 2012)
Pengantar Kepemimpinan Metafor PDIP
Setelah melakukan penelusuran literatur, penulis kemudian mengetahui bahwa defenisi konsep kepemimpinan, cenderung mengarahkan pemahamannya pada sosok atau figure seseorang dalam rangka menjelaskan bagaimana upaya/sikap pribadi yang memimpin pelaksanaan aktivitas, bisa mencapai tujuan yang diinginkan. Sehingga dalam kaitan penyusunan naskah kajian sederhana ini, terdapat semacam “keraguan” untuk menjadikannya aras berpikir dalam rangka menjelaskan kepemimpinan metaphor .
Bahwa, baik dalam realita konkret maupun menurut petunjuk teori, pengertian yang terbangun senantiasa tertuju pada sosok atau figure seorang pemimpin. Sebagaimana kita berhadapan dengan situasi dimana seorang pemimpin berinteraksi dan mempengaruhi bawahannya dalam pelaksanaan kegiatan tertentu. Hal dimaksud juga dapat dibuktikan melalui performa personal seorang pemimpin; Bahwa keahlian memimpin yang ditunjukkan dalam pengaruhnya terhadap bawahannya, termasuk kompetensi koordinasi dan administrasi yang dimilikinya, semua itu merupakan hal-hal teknis yang digarisbawahi oleh pengertian konsep kepemimpinan.

Upaya ini, bagi penulis merupakan sebuah eksperimentasi sebab walaupun pengertian dalam konsepsi kepemimpinan, mungkin juga mencakupi wilayah kepemimpinan non sosok/non figure (kepemimpinan metaforik), namun hasil belajar penulis belum cukup untuk dipertaruhkan dalam hal ini.  Akhirnya, eksperimentasi ini merupakan langkah sadar untuk mencoba sesuatu yang mungkin beraroma kesalahan, yang kelazimannya, dibenarkan dalam suatu proses belajar.

Hakekat Kepemimpinan Metaforik PDIP
“…Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempergunakan kekuatan. Dengan kekuasaanlah seorang pemimpin mengisi jalinan kehidupan organisasi” (Bierstadt, R. Robert, 1948)
Dapat dikatakan bahwa perpolitikan nasional di Indonesia mendapatkan angin segar open sky policy pada masa-masa akhir kepemimpinan rezim Soeharto. Berselang tidak lama setelah itu, angin reformasi berhembus, bahkan hingga menumbangkan pohonnya sendiri. Secara resmi, Presiden Soeharto lengser (Huntington: Replacement) dan digantikan oleh Wakil Presiden Habibie pada Juli 1998.

Sebagai akibat produktif yang dihasilkan oleh kinerja gerakan reformasi, untuk pertama kalinya dalam sejarah politik di Indonesia, lahirlah Paket Undang-Undang Politik yang isinya merubah wajah politik dalam rangka prosedur, mekanisme dan proses peralihan kekuasaan. Euphoria politik yang sangat menonjol ketika itu adalah kelahiran dan keterlibatan kontestan partai politik yang akan turut serta sebagai peserta dalam pemilu langsung pertama 1999.

Pada awal reformasi, partai politik yang ada mencapai 148 partai. Dari jumlah tersebut hanya 48 parpol yang akhirnya memenuhi syarat ikut Pemilu 1999. Banyaknya jumlah partai politik saat itu dapat dikatakan bahwa reformasi mengulangi masa awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1950-an, dimana jumlah partai politik begitu banyak. Banyaknya jumlah partai politik tersebut merupakan cerminan struktur masyarakat. Apabila masyarakat bersifat heterogen dalam segala hal, termasuk ideology dan aliran politik, maka akan tercermin dalam pembentukan organisasi kekuatan politik, termasuk di dalamnya partai politik.

Daniel Dakhidae mengelompokkan partai politik pasca Orde Baru ke dalam dua jalur utama yaitu jalur Kelas dan jalur Aliran. Partai yang mengambil jalur Kelas membedakan dirinya berdasarkan pandangannya terhadap modal (capital), yang pada akhirnya membagi masyarakat atas kelas pemilik modal dan kaum buruh dengan segala kompleksitasnya. Partai yang mengambil jalur Aliran, membedakan dirinya berdasarkan pandangan terhadap dunia dan persoalannya dan bagaimana cara memecahkannya. Dalam hal ini, agama dan budaya menjadi opsinya. Jalur Kelas dan jalur Aliran tersebut dipisahkan kemudian dengan sumbu vertikal dan horizontal. Sumbu vertikal memisahkan partai berdasarkan agama dan partai kebangsaan. Sumbu horizontal memisahkan partai yang berdasarkan Kelas yaitu partai developmentalisme dan sosialisme radikal.

Banyaknya jumlah partai politik tersebut memicu munculnya kritik publik. Keberadaan partai politik yang banyak itu tidak berbanding lurus dengan fungsi yang diembannya. Keberadaan partai-partai politik sebagai pilar demokrasi yang akan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat berbanding terbalik. Partai politik cenderung hanya memperjuangkan partai, kelompok dan kepentingan pribadi. Cenderung sibuk memperebutkan kekuasaan, jabatan dan uang. Sementara persoalan yang membelit rakyat, seperti ketidakadilan, kemiskinan, ketidakamanan serta ancaman rasa takut akan konflik horizontal maupun vertikal, dibiarkan begitu saja.

Salah satu partai politik yang “memanfaatkan” situasi ini, sekaligus dalam kaitannya dengan ideologi partainya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Jika menggunakan rumusan Daniel Dakhidae di atas, PDIP berada pada jalur Kelas dengan sumbu vertikal partai kebangsaan dan sumbu horizontal sosialisme radikal. Jadi, dapat dikatakan bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah partai sosialis radikal berorientasi kebangsaan.
Dalam kaitan itu, tentu bukan suatu kebetulan apabila PDIP menggunakan diksi ‘rakyat’ sebagai terminologi suci dalam berbagai format penggunaannya. Sublima-sublima kerakyatan PDIP, dalam hal ini boleh dipandang sebagai sebuah konsistensi. Liputlah misalnya, program-program dan kegiatan-kegiatan atau sikap pendirian politik PDIP pada berbagai domain implementasinya, senantiasa mengedepankan sisi sensitifnya terhadap apa yang berkaitan dengan rakyat. Meskipun parasnya tetap merupakan suatu strategi politik yang bisa berlatar macam ragam. Namun, nukilan ini akan berusaha menjauh dari semua hal yang menuansakan kerentanan partai politik ini.

Dalam nukilan ini, diksi politik kerakyatan PDIP hanya akan dikaitkan dengan sesuatu yang penulis lihat sebagai performa sikap politik partai yang mengejawantah laksana experimented leadership climate. Suatu konstelasi yang secara terencana menggunakan terminologi kerakyatan sebagai akses untuk masuk dalam berbagai agenda dan strategi politik, terutama bila berbicara soal kepemimpinan nasional. Demikianlah alasannya mengapa nukilan ini diawali dengan fokus pada diksi politik kerakyatan PDIP (Marhaenisme).

Marhaenisme adalah sosialisme kerakyatan. Karena itu, PDIP memandang Republik Indonesia ini sebagai negaranya rakyat kecil . Founding Father bahkan telah mengubur nisan Kepemimpinan Nasionalnya dengan sebutan Presiden Wong Cilik. Kepemimpinan Nasional di negeri ini membutuhkan Presiden yang memandang Pancasila dan rakyat kecil sebagai kliennya. Bung Karno telah memberi contoh tentang itu, kata Budiman Sudjatmiko.
Sebagai partai politik nasional, orientasi politik PDIP, tentu kepemimpinan nasional pula. Upaya ke arah itu diperjuangkan melalui semua lini politik, mulai dari domain legislasi (DPR), eksekutif, yudikatif dan masyarakat (rakyat). Salah satu model komunikasi politik yang dikembangkan oleh PDIP kepada rakyat adalah upayanya membangun opini bahwa kepemimpinan nasional yang diharapkan dan atau dibutuhkan negeri ini adalah politisi yang berdaulat, amanah dan tidak melupakan rakyat sebagai kliennya.  
Sekaitan dengan hal itu, secara sistematis, PDIP membangun/mencitrakan watak pemimpin nasional melalui seluruh kadernya, kebijakan program dan kegiatannya bahkan meliputi pula cara-cara skenariotip di luar domain politik. Hal yang disebutkan terakhir tersebut didukung oleh dokumen rahasia para pelakunya.

Fondasi pandangan kepemimpinan nasional PDIP dibangun di atas bangun teori genetis. Alasannya, partai politik harus memiliki suatu perencanaan proyektif yang mampu “menjamin” bahwa PDIP memegang tampuk kepemimpinan nasional hingga masa yang jauh ke depan. Oleh karena itu, PDIP menggunakan golden history of the founding father Soekarno sebagai preferensi simbolik kepemimpinan nasionalnya. Dari golden history of the founding father inilah PDIP mencitrakan dan membangun opini publik bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan.

Relevan dengan kondisi modal manusia PDIP yang memiliki Megawati selaku Ketua Umum dan keluarga besar Soekarno sebagai figur pemimpin lanjutan. PDIP bermaksud menerapkan paham asal-usul kepemimpinan yang bersifat genetis, bahwa bila rakyat memandang dan mengukuhkan Soekarno sebagai Indonesia itu sendiri dan mengukuhkan Indonesia sebagai Negara yang berpemimpin, maka garis-Soekarnolah tempat pemimpin itu terlahir. Selanjutnya, keluarga besarnyalah yang terbaik untuk melanjutkan kepemimpinannya. Pandangan kepemimpinan ini diturunkan dalam beragam aksi dan strategi yang akan diketengahkan dalam sub bahasan epistemologis berikutnya.

Teori kepemimpinan yang relevan dengan hal tersebut, merangkum ketiga pendekatan kepemimpinan besar yakni sifat keperibadian pemimpin, perilaku pemimpin dan situasi. Sungguh suatu advantageous, sebab hitam putih sifat keperibadian Soekarno, tampaknya dapat diterima oleh rakyat sebagai suatu totalitas golden figure dalam lintasan sejarah di Indonesia. Demikian pula halnya dengan perilaku Soekarno, baik dalam konteks prakarsa politiknya maupun prakarsa manajerialnya. Tak ayal ia diberi predikat founding father yang tentu saja dapat disimpulkan sebagai adi kemampuan dalam menata struktur dan elemen negara dan bangsa. Terkhusus kemampuannya menyusun aspek mental kognitif manajemen negara dan bangsa sehingga Indonesia memiliki Garuda dan Pancasila. Pendeknya, Soekarno adalah konsepsi kepemimpinan itu sendiri. Soekarno adalah gen kepemimpinan bagi padangan dunia kepemimpinan PDIP.

Berikutnya, kompleksitas situasi yang berkaitan dengan pekerjaan, tugas dan tanggung jawab yang disandang Soekarno pada masanya, menempatkannya sebagai seorang perfectionist manager yang dalam rangka tanggung jawab itu, mampu menciptakan equilibrium nasional yang dinamik. Betapa tidak, di tengah-tengah sekian banyak tokoh berkaliber pemimpin lain dalam percaturan politik ketika itu, Soekarno mampu mempersepsi relasi yang tepat dalam rangka sikap dan gaya kepemimpinannya.

Tipologi Soekarno yang memiliki kekuasaan, kewibawaan dan ability tersebut di atas adalah konsepsi kepemimpinan PDIP yang dalam implementasinya, oleh penulis, diidentifikasi sebagai suatu kepemimpinan metaforik dengan mempertimbangkan usaha (movement) PDIP dalam menjadikannya sebagai opini publik. Dengan mengibarkan kembali Soekarno, PDIP berbicara tentang dua hal sekaligus yakni, teori genetik sebagai asal mula kepemimpinan dan kepemimpinan efektif ala perfeksionisme Soekarno sebagai jawaban kebutuhan Kepemimpinan Nasional di Indonesia dewasa ini.

Rangka Pengetahuan Kepemimpinan Metaforik PDIP

Fakta empirik tentang bagaimana movement kearah pembentukan opini publik tentang konsepsi kepemimpinan metaforik PDIP diperoleh melalui sejumlah catatan media massa. Meski terkesan random dan sangat sulit menemukan simpul rasionalitas pertemuannya satu sama lain, namun secara tematik, kesemua fakta yang dikaji dapat menunjukkan adanya suatu sistematika. Oleh karenanya, sub bahasan episetemologis ini, akan tetap berupaya agar dapat tersaji fakta, ide dan hipotesis yang berkualitas sebagai perlakuan metode ilmiah.
Pada tahun 2001, saat Megawati Soekarno Putri menjabat Presiden RI (2001-2004), seorang mantan anggota Batalion Arhanud SE 10/Kodam Jaya bernama Suwito mengundang wartawan ke kediamannya, perumahan Cileungsi Hijau, daerah perbatasan Bogor-Bekasi. Ia memperkenalkan diri sebagai Soenuso Goroyo Soekarno dan mengaku memiliki “kontak” dengan mendiang Soekarno. Dalam menguatkan kesaksiannya, Suwito alias Soenuso Goroyo Soekarno menunjukkan ratusan batang emas dan emas putih platinum lantakan miliknya, yang diperoleh dari “kontak” dengan mendiang Soekarno. Masing-masing emas berukuran 8 ons bergambar Soekarno dan padi kapas. Dibaliknya bertuliskan 80 24K 9999.  Logam-logam itu dibungkus emas dan bersertifikat emas pula, disamping selembar sertifikat deposito bertanggal 16 Agustus 1945, yang dikeluarkan oleh BPUPKI yang menyebut sejumlah harta disimpan pada suatu tempat.

Motif Suwito yang mengaku diri sebagai Satria Piningit  ini, menurut pengakuannya, bukan untuk kekuasaan karena Indonesia saat itu sudah dipimpin oleh keturunan Soekarno. Ia hanya menjalankan “tugas” untuk meneruskan harta Soekarno kepada pemerintah untuk penyelesaian hutang-hutang Negara. Rasionalitas yang menguatkan adalah logam-logam mulia yang jumlahnya ratusan itu merupakan kualitas baik menurut pengujian keaslian ahli yang dikonfrontir oleh wartawan. Tidak mudah seorang partikelir biasa menguasai kekayaan sebanyak itu. Terlebih-lebih karena kekayaan itu berupa materi logam mulia produksi zaman yang sudah lewat. Begitu pula halnya dengan dokumen tua sertifikat yang dikeluarkan BPUPKI.
Peristiwa tersebut berkaitan dengan rumor harta karun Soekarno yang belum diketahui keberadaannya namun sudah sangat akrab ditelinga rakyat Indonesia sejak lama. Menurut catatan media massa, isu harta karun Soekarno pertama kali muncul (dilansir media Suara Pembaruan Sore) pada Agustus 1996. Bila kurun waktu itu disandingkan dengan peristiwa penyerangan Kantor PDI di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat yang terjadi pada 27 Juli 1996, tampaklah suatu meta visi. Titik tumpunya adalah peristiwa 27 Juli 1996 yang merupakan momentum metamorfosa PDI ke dalam PDIP, dan kemudian menghantar Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Umumnya.

Tampak jelas bahwa sejak peristiwa metamorfosa PDI ke dalam PDIP, atau sejak Megawati Soekarno Putri menjabat Ketua Umumnya, di tengah-tengah masyarakat merebak rumor “Harta Karun Soekarno” atau “Harta Karun Revolusi”. Sebuah rumor politik yang available bagi perbincangan, aviliasi, kompromi hingga penggagasan kekuatan dan strategi menuju kepemimpinan nasional. Termasuk bukan suatu kebetulan apabila Agustus 1996, beberapa minggu setelah Suara Pembaruan melansir untuk pertama kalinya rumor “Harta Karun Revolusi” dengan judul “Dana Revolusi: Siapa yang Tahu”, justru di Fakultas Sastra Universitas Jember digelar seminar awam bertajuk “Dialog Imajiner Dengan Soekarno: Membincang Masalah-Masalah Kepemimpinan Nasional.”  

Tentu hal-hal tersebut boleh dipandang sebagai sesuatu yang tidak kebetulan belaka. Apalagi, terdapat kesan bahwa elit politik dan pemerintah mengabaikan prahara 27 Juli 1996 sebagai peristiwa yang memerlukan proses hukum. Apakah karena begitu “gemuknya” prahara 27 Juli itu dengan intensi politik tingkat tinggi sehingga tak ada satupun Presiden yang mau memprosesnya secara hukum. Juru bicara ELSAM, sebuah lembaga non profit di Jakarta mengatakan bahwa tidak perlu heran, mengapa kasus 27 Juli 1996 itu tidak digubris oleh tiga Presiden hingga masa SBY ini, karena elit politik tahu dari mana dan kemana indeks peristiwa politik itu mengarah. Terbukti saat Megawati menjabat Presiden pun, tak ada upayanya (selaku korban) untuk meng-clear-kannya.  

Pada tahun 2009, sebuah acara di salah satu stasiun televisi bertajuk Metro Files menampilkan topik “Dana Revolusi”. Sejumlah saksi sejarah, peneliti sejarah hingga seorang mantan intelijen pada zaman itu diinterview. Salah satu keterangan menarik yang dituturkan mantan intelijen tersebut mengatakan bahwa tidak benar apabila ada orang yang mengaku menguasai dan menunjukkan kekayaan yang disebut “Dana Revolusi” kecuali ada hubungan dengan keluarga besar Soekarno. Katanya, bahkan Moerdiono pun, seorang Sekretaris Negara yang dahulu ditugasi oleh Presiden Soeharto untuk menelusuri keberadaan “Harta Karun Revolusi” itu, tidak berhasil menemukan apa-apa selain jalan buntu yang gelap. 

Apalagi sudah terbukti bahwa ternyata, harta karun “Satrio-Suwito-Piningit” itu merupakan properti pinjaman. Begitu jawabannya ketika lima  tahun kemudian sejak pemunculannya tahun 2001 mempersaksikan sejumlah logam mulia dan dokumen sertifikat yang ia gunakan dalam sandiwaranya. Namun ketika ditanya oleh Metro Files, pinjaman dari siapa? Ia malah membeberkan bagaimana cara ia mengangkat “harta karun” itu secara gaib. Sungguh suatu model atau strategi penyesatan yang apik, yang tidak mungkin mampu dilakukan, oleh sembarang orang, sekalipun seorang mantan tentara. Namun sandiwaranya telah menuai efek di tengah-tengah masyarakat yaitu posibilitas adanya rasa kagum terhadap sosok Soekarno yang multi dimensial, kekayaannya yang berlimpah sebagai kebalikan dari situasi umum masyarakat yang terhimpit masalah ekonomi, sehingga sangat mungkin membentuk sublima kepemimpinan di benak masyarakat.

Sangat terbuka kemungkinan untuk sampai pada asumsi bahwa asset atau property berbentuk emas lantakan dan sertifikat itu sesungguhnya ada dan dikuasai oleh keluarga Soekarno, seperti keterangan mantan intelejen zaman Orla tersebut di atas. Termasuk asumsi bahwa untuk mampu menunjukkan wujud harta karun itu, seperti yang dilakukan “Satrio-Suwito-Piningit”, harus didukung atau mempunyai akses ke keluarga Soekarno. Dalam kaitan dengan peristiwa-peristiwa semacam itu, terdapat suatu kemungkinan adanya semacam rancangan conspiracy mechanism antara aktor-aktor tertentu dengan keluarga besar Soekarno.
Memang tampak jelas bahwa semakin ke depan, PDIP terkesan merubah caranya dalam mengimplementasikan padangan dan visi kepimpinannya. Melalui beberapa Pemilukada, PDIP secara berbeda, sengaja meminang figur-figur biasa (ordinary), termasuk bukan dari kalangan elit politik, apabila mereka termasuk figure merakyat. Sebagaimana Pemilukada DKI, dimana PDIP menyokong sosok Jokowi yang dianggap figure merakyat. 

Nilai Kepemimpinan Metafor PDIP

Jelas sekali, dalam kaitan kepentingan apa wacana dan praksis kepemimpinan metaphorik PDIP tersebut diarahkan atau mengarah. Namun meski tampak kurang memadai, nukilan ini tetap akan diproyeksikan ke dalam wilayah nilai. Kutub nilai yang dituju antara lain adalah kutub nilai universal (free value) dan kutub nilai terikat (not free value).  Dengan menelusupkan golden history of the founding father Soekarno ke dalam konstruktur opini publik, maka PDIP diuntungkan melalui prinsip-prinsip genetis, asal mula kepemimpinan. Hal ini dimungkinkan karena dalam dunia hidup manusia secara universal, ada pengalaman pemerintahan tradisional yang mengajarkan sublima semacam itu. Bahkan, hingga saat ini masih hidup dan mendekam dalam benak manusia. Daya saing-nya terhadap konsepsi kepemimpinan modern adalah karena pada umumnya manusia modern saat ini tidak mengalami secara langsung peran kepemimpinan genetis di masa pemerintahan tradisional. Karena itu pula, hampir dapat dikatakan bahwa kekurangan atau hal-hal negatif dari peran kepemimpinan genetis, tidak secara signifikan merangsang analisa manusia modern sehingga cenderung sangat mudah menyentuh golden histories-nya saja.

Oleh karena itu, dapat dikatakan masih relevan membahas kepemimpinan efektif ala perfeksionisme Soekarno sebagai jawaban kebutuhan Kepemimpinan Nasional di Indonesia dewasa ini. Apalagi kecenderungan kelemahan kepemimpinan modern dewasa ini bersumber pada sikap mental yang pragmatis (didukung oleh kompleksitas produksi massal yang melingkupi kehidupan modern) yang cenderung kapitalistik. Hal mana, kecenderungan pragmatik yang kapitalistik relatif belum “mengendalikan” kesadaran dunia hidup para pemimpin dimasa lalu.

“Kelelahan” pikiran manusia dalam meliput dan menanggapi carut-marut serta kecenderungan negatif yang dijejakkan oleh kepemimpinan modern deawasa ini, boleh jadi mendorong manusia untuk secara sadar “mencoba” kembali kepemimpinan genetis, termasuk di Indonesia. Boleh dikata, tidak ada bangunan kaidah moral yang direduksi dari penerapan konsep kepemimpinan genetis. Namun bila dikaitkan dengan cara-cara dan strategi yang ditempuh guna mengangkat dan menghidupkan kembali gagasan kepemimpinan genetis dalam opini publik, sebagaimana ditempuh oleh PDIP, tentu diperlukan perdebatan mendalam. Model-model penyesatan yang dipraktekkan cenderung tidak linier dengan nilai-nilai kejujuran, padahal tampaknya, tidak ada hal yang perlu disembunyikan atas nama siasat strategic dalam kaitan itu.

PDIP masih dapat mendalami dan merancang lebih cermat lagi hal-hal yang dianggapnya sebagai strategi dalam rangka menentukan praksis tersebut berdasarkan pilihan-pilihan moral yang referensial bagi bangsa ini. Kejujuran dan keterbukaan jauh lebih bernilai tinggi ketimbang siasat semacam itu apabila suatu hal yang ingin dikomunikasikan itu dapat dikatakan “sudah tuntas dalam skala nilai” di dalam kesadaran bangsa Indonesia. Mungkin terlalu gegabah apabila nukilan ini mengatakan bahwa hitam-putih kepemimpinan Soekarno dapat diselesaikan sendiri oleh masing-masing kesadaran historis orang Indonesia. Dan hal itu menandakan bahwa tidak perlu menyiasati model komunikasi apabila hendak mengkomunikasikan kembali golden figure kepemimpinan Soekarno. Hal ini dimaksudkan sebagai penekanan terhadap bagaimana sebaiknya mengkaitkan antara teknik procedural strategi yang ditempuh sebagai operasionalisasi metode ilmiah dan norma-norma moral atau professional yang bisa dijadikan sebagai rujukan.
 

Karasteristik Pemimpin Visioner

Kepemimpinan visioner memiliki karakteristik khas yang menjadi dasar untuk mengetahui gambaran sikap dan prilaku pemimpin yang memiliki orientasi pada visi. Menurut Nasir (2012) beberapa ciri-ciri utama kepemimpinan visioner adalah:
  • Berwawasan ke masa depan : pemimpin visoner mempunyai pandangan yang jelas terhadap suatu visi yang ingin di capai, agar organisasi yang dia masuki dapat berkembang. Sesuai dengan visi yang ingin dia capai
  • Berani bertindak dalam meraih tujuan, penuh percaya diri, tidak peragu dan selalu siap menghadapi resiko. Pada saat yang bersamaan, pemimpin visioner juga menunjukkan perhitungan yang cermat, teliti dan akurat. Dalam memperhitungkan kejadian yang di anggapnya pentig
  • Mampu menggalang orang lain untuk kerja keras dan kerjasama dalam menggapai tujuan. Pemimpin visioner adalah sosok pemimpin yang patut di contoh, dia mau membuat contoh agar masyarakat sekitar mencontoh dia
  • Mampu merumuskan visi yang jelas, inspirasional dan menggugah, mengelola ‘mimpi’ menjadi kenyataan : pemimpin visioner sangatlah orang yang mempunyai komitmen yang kuat terhadap visi di embannya, dia ingin mewujudkan visinya kedalam suatu organisasi yang dia masuki.
  • Mampu mengubah visi ke dalam aksi : dia dapat merumuskan visi kedalam misinya yang selanjutnya dapat diserap anggota organisasi. Yang dapat menjadikan bahan acuan dalam setiap melangkah kedepan
  • Berpegang erat kepada nilai-niliai spiritual yang diykininya : pemimpin visioner sangatlah profesionalitas terhadap apa yang diyakini, seperti nilai – nilai luhur yang ada di bangsa ini. Dia sosok pemimpin yang bisa dijadikan contoh
  • Membangun hubungan (relationship) secara efektif : pemimpin visoner sangatlah pandai dalam membangun hubungan antar anggota, dalam hal memotivasi, memberi, membuat anggotanya lebih maju dan mandiri. Secara tidak langsung hubungan itu akan terjalin  dengan sendirinya. Dia juga tidak malu – malu dalam member reward dan punnisment terhadap anggotanta, tinkat integritasnya sangatlah tinggi
  • Innovative dan proaktif : dalam berfikir pemimpin vioner sangatlah kreatif dia mengubah berfiir konvesiomal menjadiparadigma baru, dia sangatlah sosok pemimpin yang kreatif dan aktif. Dia selalu mengamati lankah – langkah kedepan dan isu – isu terbaru tentang organisasi/instasi.
Selain itu pemimpin visioner memiliki ciri diantaranya adalah yang dikemukakan oleh McLaughin (2001) yaitu:
  • Komitmen Terhadap Nilai Spiritual sebagai ciri yang paling menonjol dari pemimpin visioner. Mereka mewujudkan rasa integritas pribadi, dan memancarkan rasa energi, vitalitas dan kehendak.
  • Memiliki inspirasi visi yang bersih dalam bentuk kemampuan mewujudkan visi dasar yang telah ditrencanakan, didukung oleh inspirasi positif dari masa depan, serta arah yang jelas tentang bagaimana mencapai visi tersebut.
  • Menghormati hubungan baik diwujudkan dalam bentuk kepedulian kepada orang lain dan menganggap bahwa mereka itu adalah asset terbesar dalam suatu oraganisasi. Pemimpin visioner mengedepankan pendekatan kemitraan dan menciptakan rasa berbagi visi dan makna dengan orang lain. Mereka menunjukkan rasa hormat yang lebih besar bagi orang lain dan hati-hati mengembangkan semangat tim.
  • Berani mengambil langkah inovatif; melalui kemampuan Pemimpin visioner mengubah paradigma lama, dan menciptakan strategi yang "di luar kebiasaan" pemikiran konvensional dengan pemikiran sistemik
 

Prinsip Kepemimpinan Visioner

Dalam konsep Manajemen, Shoji Shiba dan David Walden (dalam Kapur, 2007) telah menetapkan delapan prinsip kepemimpinan visioner sebagai berikut:
  • Prinsip 1: 
Pemimpin visioner harus melakukan pengamatan di lapangan yang mengarah ke persepsi pribadi dari perubahan nilai sosial dari sudut orang luar pandang.
  • Prinsip 2: 
Meskipun ada resistensi, tidak pernah menyerah, menekan perlawanan antara luar-dalam tekanan dalam kombinasi dengan top-down di dalam instruksi.
  • Prinsip 3: 
Transformasi dimulai dengan gangguan simbolis dari sistem lama atau tradisional melalui top-down upaya untuk menciptakan kekacauan dalam organisasi.
  • Prinsip 4: 
Arah transformasi digambarkan ditujukan oleh gambar terlihat simbolik dan perilaku simbolik pemimpin visioner itu.
  • Prinsip 5: 
cepat membangun sistem fisik, organisasi dan perilaku baru adalah penting untuk transformasi sukses.
  • Prinsip 6: 
Pemimpin Perubahan nyata yang diperlukan untuk memungkinkan transformasi.
  • Prinsip 7: 
Membuat sistem yang inovatif untuk memberikan umpan balik dari hasil.
  • Prinsip 8: 
Membuat sistem operasi sehari-hari, termasuk struktur kerja baru, pendekatan baru untuk kemampuan manusia dan kegiatan perbaikan.
Jadi seorang pemimpin visioner harus, melatih dirinya untuk memahami kebutuhan masyarakat masa depan dengan perspektif bisnis. Melihat organisasi sebagai orang luar, CEO yang tepat untuk mendapatkan perspektif yang segar dan merasakan kebutuhan masyarakat masa depan. Sebuah perspektif yang segar membutuhkan CEO untuk melupakan pelanggan yang ada dan melihat seluruh dunia sebagai pasar masa depan.
 

Konsep, Paradigma Dan Teori Ilmu Administrasi dalam tinjauan Filsafat

Konsep
Sekitar tahun 80-an berkembang konsep yang berlabel baru untuk memberdayakan konsep ilmu administrasi publik. Konsep tersebut antara lain ada yang menyebut New Public Administration (Bellone, 1980), The New Science of Organizations (Ramos, 1981), dan terakhir sekitar 90-an muncul konsep disebut New Public Management (Ferlie, 1996). Ini pada hakekatnya berupaya untuk mencerahkan konsep Ilmu Administrasi Negara.
Administrasi publik dimaksudkan untuk lebih memahami hubungan pemerintah dengan publik serta meningkatkan  responsibilitas kebijkan terhadap kebutuhan publik, dan juga melembagakan praktek-praktek manajerial agar terbiasa melaksanakan suatu kegiatan dengan efektif, efesien dan rasional
Peran administrasi publik dalam suatu negara sangat vital sehingga Karl Polangi mengatakan bahwa kondisi ekonomi suatu negara sangat tergantung pada dinamika administrasi publik.

Teori:
Gray (1989) menjelaskan peran administrasi publik dalam masyarakat adalah (1) menjamin pemerataan distribusi pendapatan nasional kepada kelompo masyarakat miskin secara berkeadilan, (2) melindungi hak-hak rakyat atas kepemilikan kekayaan, serta menjamin kebebasan bagi rakyat untuk melaksanakan tanggung jawab atas diri mereka, (3) melestarikan nilai tradisi masyarakat yang sangat bervariasi
Dimock & Dimock membagi empat komponen administrasi publik yaitu: (1) apa yang dilakukan pemerintah: pengaruh kebijakan, tindakan-tindakan politis, dasar-dasar wewenang, lingkungan kerja pemerintah, penentuan tujuan, kebijakan administratif kedalam rencana-rencana, (2) Bagaimana pemerintah mengatur  organisasi, personalia, pembiayaan, usaha, struktur administrasi dari segi formalnya, (3) bagaimana para administrator mewujudkan kerjasama, (4) bagaimana pemerintah tetap bertanggung jawab baik pengawasan eksekutif, yudkatif dan legislatif.
Ruang lingkup administrasi publik adalah (1) kebijakna publik, (2) birokrasi publik, (3) managemen Publik, (4) Kepemimpinan,  (5) pelayanan Publik, (6) Administrasi kepegawaian, (7) Kinerja, (8) etika administrasi publik.

Paradigma:
G. Fredrickson (1984) mengemukakan enam paradigma administrasi publik yaitu:
  • Birokrasi klasik yang berfokus pada struktur organisasi dan fungsi, prinsip manajemen sedangkan lokusnya adalah berbagai jenis organisasi, baik pemerintah maupun bisnis. Nilai pokok yang mau diwujudkan adalah efesiensi, efektifitas ekonomi dan rasional. Tokohnya adalah Weber (Bereucrasy, 1922), Wison (The Study of public administration, 1887), Tylor, (Scientific management, 1912) dan gullic dan Urwick (Paper on the Science of administration, 1937)
  • Birokrasi Neo Klasik memuat nilai yang dianut sama dengan paradigma birokrasi klasik, namun yang berbeda adalah fokus pada proses pengambilan keputusan  dengan perhatian khusus pada penerapan ilmu prilaku, ilmu manajemen, analisa sistem dan penelitian operasi sementara lokusnya adalah keputusan yang dihasilkan birokrasi pemerintah.  Tokohnya adalah Simon (Administrasi Behaviour, 1984) Cyer dan March (Abehavioral Theory of the firm, 1963)
  • Kelembagaan yang berfokus pada pemahaman mengenai prilaku birokrasi yang dipandang juga sebagai suatu organisasi yang kompleks. Masalah efesiensi, efektivitas dan produktivitas organisasi kurang mendapat perhatian. Salah satu perilaku organisaisasi yang diungkapkan dalam paradigma ini adalah perilaku pengambilan keputusan yang bersifat gradual dan increamental yang oleh Limbdon dipandang sebagai satu-satunya cara untuk memadukan kemampuan dan keahlian birokrasi dengan preferensi kebijkana dan berbagai kemungkinan bias dari pejabat politis.
  • Hubungan kemanusiaan yang intinya adalah keikut sertaan dalam pengambilan keputusan, minimasi perbedaan dan status dan hubungan antar pribadi, keterbukaan, aktualisasi diri dan optimasi tingkat kepuasan, fokusnya adalah dimensi-dimensi kemanusiaan dan aspek social dalam tiap jenis organisasi atau birokrasi.  Tokohnya Rennis Likert (The Human organizations its managemen and value, 1967)
  • Pilihan Publik, lokus administrasi negara menurut paradigma ini tak terlepas dari politik. Fokusnya adalah pilihan-pilihan untuk melayani kepentingan publik akan barang dan jasa yang harus diberikan oleh sejumlah organisasi yang kompleks, Tokohnya Ostrom (1973) Tullock (1968).
  • Administrasi negara baru: locusnya adalah usaha untuk mengorganisasikan, menggambarkan dan mendesain ataupun membuat organisasi dapat berjalan kearah dengan mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan secara maksimal yang dilaksanakan dengan menggambarkan sistem desentralisasi dan organisasi-organisasi demokratis yang responsif dan mengundang partisipasi dan peran seerta dan dapat meberikan secara merata jasa-jasa yang diperlukan masyarakat. Karakteristiknya adalah menolak bahwa para administrator dan teori administrasi bersifat netral atau bebas nilai.
David Osborn mengemukakan paradigmanya yakni Reinventing Government bahwa pemerintah harus bersifat katalik, meberdayakan masyarakat, mendorong semangat kompetisi, berorientasi pada misi, mementingkan hasil dan bukan cara, mengutamakan kepentingan pelanggan, berjiwa wirausaha, selalu berupaya mencegah masalah atau bersikap antisipatif, desentralistis dan berorientasi pasar.
Paradigma New Pablic Management (NPM) oleh hood mengemukakan tujuh komponen doktrin yaitu (1) pemanfaatan manajemen profesional, (2) penggunaan indikator kerja, (3) penggunaan yang lebih besar pada control output, (4) Pergeseran perhatian ke unit-unit terkecil, (5) pergeseran kekompetisi yang lebih tinggi, (6) penekanan gaya sector swasta pada praktek manajemen dan (7) penekanan pada sdisiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam penggunaan sumber daya.
JV. Denhart (2003) Paradigma New Public Service (NPS) administrasi publik harus (1) melayani warga masyarakat bukan sebagai pelanggan, (2) Mengutamakan kepentingan Publik, (3) lebih menghargai kewarganegaraan daripada kewirausahaan, (4) berikir strategis, bertindak demokratis, (5) menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu yang mudah, (6) melayani dari pada pengendalian, (7) menghargai orang bukan karena produktivitasnya semata.
 
 
Support : Creating Website | Jay Template | uak sena
Copyright © 2011. Administrasi Publik - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger